
Menurut Onong Uchjana Effendy
(1991: 12), public relations di Indonesia dimulai sejak tahun 1950.
Perkembangan hubungan masyarakat di Indonesia bergerak menyertai kondisi
politik dan kenegaraan saat itu. Pada waktu itu pemerintah Indonesia menyadari
perlunya rakyat Indonesia untuk mengetahui segala perkembangan yang terjadi
sejak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh kerajaan Belanda. Berawal dari
pemikiran tersebut maka kegiatan kehumasan mulai dilembagakan dengan menyandang
nama hubungan masyarakat karena kegiatan yang dilakukan lebih banyak untuk ke
luar organisasi.
Menurut
Rhenald Kasali dalam bukunya Manajemen PR disebutkan bahwa PR di Indonesia mulai berkembang seiring dengan
perkembangan PR di dunia atau Asia. Public Relations awalnya digunakan untuk kepentingan
usaha dalam bentuk seperti Olimpiade Korea Selatan, Glassnot Perestroika, Kasus
Lemak Babi 1988, dan lain-lain. Olimpiade yang diselenggarakan oleh tuan
rumah Korea Selatan di tahun 1988 menggunakan salah satu jasa konsultan PR.
Olimpiade adalah suatu event international menyita perhatian semua orang bahkan
samapai saat ini. Sebagai tuan rumah, Korea Selatan ingin bangkit menunjukkan
eksitensi dirinya yang memang salah satu keinginannya adalah membuka pasar di
dunia untuk memasarakan produk – produknya. Dalam kaitan inilah PR berfungsi.
Public Relations digunakan oleh pihak swasta di Indonesia pertama kali oleh
PERTAMINA, sebuah perusahaan minyak. Public Relations di Indonesia memang sudah
banyak digunakan baik itu di pihak pemerintah maupun swasta di berbagai sektor.
Konsep Public Relations dipahami dan digunakan oleh pihak–pihak tersebut dengan
berbagai macam pemahaman dan berbagai macam bentuk implementasinya. (Iwan
Awaluddin Yusuf).
a. Perkembangan Public Relations Pada Masa Kerajaan
Pada dasarnya
praktik public relations sudah ada di Indonesia sebelum kedatangan Belanda. Hal
ini terbukti bahwa, pada masa kerajaan-kerajaan di Indonesia yaitu pada masa
kerajaan Mataram dimana adanya usaha penembahan Senopati untuk menyebarkan
”gosip” bahwa keturunannya akan menjadi pasangan dan lindungan Nyai Roro Kidul.
Menurut salah satu versi sejarah, usaha itu dimaksudkan untuk menyaingi
pengaruh pada adipati di pesisir utara Jawa yang kekuasaannya direstui oleh
para Sunan atau Wali yang sangat disegani.
b. Perkembangan Public Relations Pada Masa Kemerdekaan
Ketika
merumuskan konstitusi, ada banyak jurnalis atau wartawan yang menunggu
kelanjutan peristiwa setelah proklamasi kemerdekaan sehari sebelumnya. Akhirnya
pertemuan itu ditunda untuk memilih presiden dan wakil presiden pertama
Indonesia dan diumumkan kepada para jurnalis yang ada. Itu, fase media
relations yang penting.
Ketika perang kemerdekaan, adalah Soedarpo Sastorsatomo yang mengelola media relations sebagai Menteri Penerangan. Ia mengelola media relations di dalam negeri hingga mendukung diplomasi di PBB, termasuk untuk mengemas citra Indonesia di luar negeri. RRI juga disebut sebagai bagian dari aktivitas public relations ketika mengeluarkan program siaran luar negeri, yang kini pemancarnya ada di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ada pula upaya untuk membantu India dalam mengatasi kelaparan dalam Program Rice for India, sekalipun Indonesia belum memiliki surplus beras.
Ketika perang kemerdekaan, adalah Soedarpo Sastorsatomo yang mengelola media relations sebagai Menteri Penerangan. Ia mengelola media relations di dalam negeri hingga mendukung diplomasi di PBB, termasuk untuk mengemas citra Indonesia di luar negeri. RRI juga disebut sebagai bagian dari aktivitas public relations ketika mengeluarkan program siaran luar negeri, yang kini pemancarnya ada di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ada pula upaya untuk membantu India dalam mengatasi kelaparan dalam Program Rice for India, sekalipun Indonesia belum memiliki surplus beras.
c. Perkembangan Public Relations Pada Masa Orde Baru
Setelah
perang kemerdekaan, mulai berdatangan beberapa perusahaan minyak diantaranya
Shell, Stanvac, Caltex. Sebagai perusahaan multinasional, mereka memiliki organ
bernama public relations. Dimana S. Maimoen, R Imam Sajono dan Soedarso yang di
tahun 1950-an mulai dikenal sebagai PR Officer yang berlatar belakang dari
kalangan jurnalistik. Tahun 1954, Garuda Indonesian Airways mulai mengembangkan
unit public relations. Di tahun 1955, Mabes Polri menjadi institusi pemerintah
pertama yang memiliki unit public relations. Kemudian diikuti oleh RRI.
Sekalipun demikian, beberapa angkatan bersenjata juga memiliki unit informasi
yang dibawa kontrol presiden waktu itu. Di tahun 60-an, istilah ”purel” sebagai
akronim public relations makin populer digunakan ketimbang term kehumasan.
Konsultan
public relations “Pertama” Adalah PT Inscore Zecha yang dipimpin M. Alwi Dahlan
tercatat sebagai konsultan public relations pertama yang berdiri di Indonesia
tahun 1972. Kebanyakan mereka mengelola kepentingan publisitas dalam bentuk
iklan. Sejak tahun 1970, sekitar 20 tahun national Development Information
Office mendukung pengelolalaan public relations pemerintah RI untuk dunia
internasional.Universitas Padjajaran menjadi universitas pertama yang membuka Fakultas Public Relations di tahun 1964
dengan ibu Oemi Abdulrachman yang menjadi dekannya. Setelah itu, banyak
berkembang pendidikan public relations dalam bentuk program studi hingga pendidikan
di tingkat diploma. Tanggal 15 Desember 1972 merupakan momen deklarasi asosiasi
public relations Indonesia yaitu Perhumas yang dihadiri oleh beberapa PRO
perusahaan minyak dan konsultan serta akademisi term Asosiasi PR.
Di tahun
1974 posisi unit public relations dalam organisasi pemerintah sudah mulai
dipegang pejabat eselon III. Beberapa tahun kemudian meningkat menjadi eselon
II. Karena itulah di tahun 1974 ada Badan Koordinasi Humas (Bakohumas) yang
diketuai Direktur Humas Pembangunan Menteri Penerangan.
Dalam
pertemuan di Kuala Lumpur, 26 Oktober 1977, Perhumas bersama asosiasi humas di
negara-negara ASEAN bergabung dalam Federasi Organisasi public relations ASEAN
dan menggelar Kongres PR Asean pertama di tahun 1978 di Manila. Pada tanggal 10
April 1987, Asosiasi Perusahaan public relations Indonesia dibentuk suatu wadah
profesi Humas yg disebut APPRI ( Assosiasi Perusahaan Public relations
Independen ) yang mempunyai tujuan :
1.
Mewujudkan fungsi PR yang
jujur, Bertanggung jawab sesuai dengan kode etik.
2.
Memberi Informasi terhadap
Klien bahwa APPRI memberi Nasehat dalam PR
3.
Mengembangkan kepercayaan umum
atas public relations.
Dan
kemudian tanggal 11 November 2003, tercatat sebagai kelahiran PR Society
Indonesia. Public Relations (PR) secara konsepsional dalam pengertian “State of
Being “ di Indonesia baru dikenal pada tahun 1950-an, Setelah kedaulatan
Indonesia diakui oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Dimana
pada saat itu, Indonesia baru memindahkan pusat ibu kota dari Yogyakarta ke
Jakarta. Tentu saja, proses pembenahan struktural serta fungsional dari tiap
elemen-elemen kenegaraan baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif marak
dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah menganggap penting akan adanya
badan atau lembaga yang menjadi pedoman dalam mengetahui“ Who we are, and what
should we do,first? “. Oleh sebab itu, dibentuklah Departemen Penerangan.
Namun, pada kenyataannya, departemen tersebut hanya berdedikasi pada kegiatan
politik dan kebijaksanaan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Dengan
kata lain, tidak menyeluruh. Dengan alasan demikian, pada tahun 1962 , dari
Presidium Kabinet PM Juanda, menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah
harus membentuk bagian atau divisi Humas (PR), ditahun itulah, periode pertama
cikal bakal adanya Humas di Indonesia. Namun, tidak berhenti disitu saja, PR
berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi. Dimulai dengan pengambilan kata
“Humas” yang merupakan terjemahan dari Public Relations.Maka tak heran, kita
sering menemui penggunaan sebutan “Direktorat Hubungan Masyarakat” atau “Biro
Hubungan Masyarakat ” bahkan “ Bagian Hubungan Masyarakat “ sesuai dengan ruang
lingkup yang dijangkau.
Jika
dikaitkan dengan state of being, dan
sesuai dengan method of communication,
maka istilah Humas dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi, jika kegiatan yang
dilakukan oleh Kepala Hubungan Masyarakat itu, hanya mengadakan hubungan dengan
khalayak di luar organisasi, misalnya menyebarkan press release ke massa media,
mengundang wartawan untuk jumpa pers atau wisata pers, maka istilah hubungan
masyarakat tersebut tidaklah tepat apabila dimaksudkan sebagai terjemahan dari
public relations. Itulah yang dialami oleh Indonesia, yang ternyata lupa akan
aspek secara hakiki dari PR itu sendiri. Seperti, Pertama, Sasaran PR adalah
public intern (internal publik ) dan public ekstern (Eksternal Publik).
Internal Publik adalah orang-orang yang berbeda atau tercakup organisasi,
seluruh pegawai mulai dari staff hingga jendral manager. Eksternal Publik ialah
orang-orang yang berada di luar organisasi yang ada hubungannya dan yang
diharapkan ada hubungannya. Seperti Kantor Penyiaran, PR harus menjalin
hubungan dengan pemerintah, asosiasi penyiaran Indonesia, sebagai organisasi
yang berhubungan, selain itu dengan berbagai macam perusahaan, biro iklan, LSM,
dan masyarakat luas, sebagai calon pembuatan relasi kerja sama.
Kedua, kegiatan PR adalah
komunikasi dua arah ( reciprocal two ways
traffic communications ). Artinya, dalam penyampaian informasi PR
diharapkan untuk menghasilkan umpan balik, sehingga nantinya dapat menjadi
bahan evaluasi perusahaan agar lebih baik. Ternyata, orientasi PR
Indonesia belum seutuhnya dapat dikatakan sebagai “ PR Sejati “. Sebab berbeda
dengan konsep yang diterapkan oleh bapak PR, Ivy L.Lee, yakni mempunyai
kedudukan dalam posisi pemimpin dan diberi kebebasan untuk berprakarsa dalam
meyiapkan informasi secara bebas serta terbuka
0 komentar:
Post a Comment